Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jawaban Menohok, Santri Asal Malang, Atas Tantangan Tokoh HTI, Ust. Fahmi al-Anjantani Kepada Mahfudz MD : Sampean Gagal Faham!

Prof. Mahfud MD dalam akun twitternya menantang para penyeru khilafah menununjukkan sistem baku khilafah. Dalam akun twitternya beliau menulis. kalau mereka bisa menunjukkan sistem baku khilafah dari al-Quran dan Hadits maka saya akan langsung memperjuangkan khilafah bersama mereka. Ayo.

Jawaban Menohok, Santri Asal Malang, Atas Tantangan Tokoh HTI, Ust. Fahmi al-Anjantani

Pernyataan beliau kemudian mendapatkan tanggapan dari beberapa pihak, salah satu diantaranya adalah Ust. Irkham Fahmi al-Anjatani. Dalam tulisannya yang berjudul MAHFUD MD GAGAL PAHAM KHILAFAH, beliau memberikan beberapa bantahan terhadap pernyataan Prof. Mahfud MD yang dinilai menyimpang dari pemahaman para ulama terdahulu. Dalam tulisan panjangnya beliau menyatakan:

Sebelumnya, pak Mahfudz MD menyatakan bahwa, tidak ada ajaran baku tentang pemerintahan Islam. Semua kaum muslimin bebas menentukan model negaranya masing-masing.

Dengan menggunakan dalil Hadits Nabi Muhammad saw., "antum a'lamu biumuuri dunyaakum", (kalian lebih mengetahui dengan urusan dunia kalian) pak Mahfudz coba mengokohkan argumentasinya. Padahal, jika dilihat dari 'asbaabul wurud'nya, Hadits tersebut bermula dari saran Nabi Muhammad saw. kepada para petani kurma di Madinahuntuk mencangkok pohon-pohon kurmanya, dengan maksud, agar mendapatkan hasil yang lebih baik.

Akan tetapi, ketika itu sudah dijalankan oleh para petani di Madinah ternyata hasilnya justru tidak sesuai harapan. Mereka pun akhirnya mengadu kepada Nabi saw. akanhal itu, dan beliau'pun menjawab "antum a'lamu biumuuri dunyaakum", (Lihat: HR. Muslim, no. 2361-2363)


BANTAHAN:

Didalam islam tidak ada sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang baku. Umat islam diperkenankan memiliki sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat itu sendiri. karna sistem pemerintahan yang ada sejak zaman sahabat hingga sekarang merupakan produk ijtihad sebagaimana ditegaskan oleh al-Jabiri berikut:

الدين والدولة وتطبيق الشريعة  لمحمد عابد الجابري. ص : 17
كما ندد القرآن بالإستبداد والإستكبار وأثنى على الشورى والإحسان والعدل الخ ولكنه لم ينص لا على أمة الإسلام يجب أن يتطابق معها ملك الإسلام أو دولة الإسلام ولا على من يخلف الرسول فى تدبير شؤون هذه الأمة ولا حتى على ضرورة أن يكون هناك من يخلفه فى ذلك بل ترك المسئلة للمسلمين وكأنها داخلة فى قوله عليه السلام أنتم أدرى بشؤون دنياكم. إهـ
Artinya: kendatipun al-Qur’an mencela tindakan semena-semana dan congkak, dan memuji tindakan musyawarah, berbuat kebaikan dan keadilan, namun al-Quran tidak menjelaskan secara tegas kepada umat islam untuk mendirikan kerajaan ataupun Negara islam. Begitu pula mengenai orang yang akan mengantikan rosul dalam mengatur problematika umat  dan tidak memiliki keharusan untuk menjelaskan haruskah ada yang menggantikan rosul dalam hal tersebut. Masalah tersebut diserahkan kepada umat muslim. Sehingga seakan-akan masalah khilafah masuk katagori sabda Rosul: kalian lebih tahu tentang masalah dunia kalian.


Sebelum Rosululloh meninggal, beliau tidak memberikan contoh baku bagaimana bentuk Negara maupun sistem pemerintahan yang harus dijalankan oleh umat muslim setelah beliau wafat. bahkan beliau tidak menjelaskan siapa yang akan menggantian beliau dan bagaimana mekanisme pengangkatannya.

Bentuk Negara, sistem pemerintahan, sahabat yang akan menggantikan, maupun mekanisme pengangkatan pengganti beliau dalam mengatur problematika umat islam merupakan hasil ijtihad dari para sahabat, bukan berdasarkan sistem baku (nash) yang diajarkan oleh Allah swt. maupun RosulNya.

Dengan demikian, benar apa yang disampaikan Prof. Mahfud MD, bahwa didalam islam tidak ada sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang baku.

Adapun hadits "antum a'lamu biumuuri dunyaakum", (kalian lebih mengetahui dengan urusan dunia kalian), yang dijadikan argumentasi oleh Prof. Mahfud mengenai pandanganya, memang benar memiliki asbaabul wurud yang spesifik sebagaimana dinyatakan  oleh Ust. Irkham Fahmi Al-Anjatani diatas. Namun penting untuk diketahui, bahwa dalam teori Ushul Fiqh disebutkan: al-Ibrah bi Umumil Lafdzi La bi Khususis Sabab, (yang menjadi pertimbangan dalam memahami teks adalah generalitas kata-kata, bukan hanya sebab khusus).

Kendatipun hadits "antum a'lamu biumuuri dunyaakum", tidak sedang membicarakan  bentuk Negara dan sistem pemerintahan secara khusus, namun karna bentuk Negara dan sistem pemerintahan merupakan masalah duniawi yang merupakan hasil ijtihad yang tidak ada aturan bakunya baik dalam al-Quran maupun hadits, maka umat islam diperkenankan memiliki sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang dinilai sesuai dengan kebutuhan dan realitas umat islam itu sendiri sebagaimana dinyatakan oleh Abed al-Jabiri diatas.

Dengan demikian, pernyataan prof. Mahfud yang menggunakan hadits diatas sebagai argumentasi tidak adanya sistem baku mengenai sitem pemerintahan dalam islam, dapat dibenarkan dan dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.

Ust. Irkham Fahmi Al-Anjatani setelah menjelaskan panjang lebar mengenai aturan baku khilafah, beliau berkesimpulan:

Aturan baku yang sudah disepakati oleh para ulama adalah, umat Islam wajib mempunyai seorang pemimpin, tidak boleh lebih. Umat Islam wajib bersatu, lintas negara dan lintas benua. Dan sejarah membuktikan, semua itu hanya dapat terwujud dengan Khilafah.

Untuk membuktikan kebenaran pernyataannya, beliau mengutip beberapa pernyataan para ulama, antara lain Imam An-Nawawy dalam Syarh al-Nawawiy ala al-Muslim berikut:

شرح النووي على مسلم - (ج 12 / ص 232)
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا

Artinya: Para ulama telah bersepakat bahwa Tidak Boleh (umat Islam) mempunyai dua orang Khalifah dalam satu waktu, baik ketika wilayah Darul Islam luas ataupun tidak", (Syarah Shahih Muslim, XII/232)


BANTAHAN

Pernyataan imam Nawawi termasuk beberapa referensi yang disebut dibawah menjelaskan kewajiban umat muslim mengangkat pemimpin, bukan menjelaskan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang ideal menurut islam. Sehingga sangat tidak tepat kalau tidak disebut dengan ngawur- jika pernyataan ulama-ulama diatas digunakan untuk menyalahkan sistem pemerintahan dan ketatanegaraaan yang slama ini dianut oleh bangsa Indonesia.


Pada saat kita membahas masalah sistem pemerintahan, maka tiga aspek yang harus kita kaji secara cermat dan tidak mencampur baurkan antara satu aspek dengan aspek yang lain. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi terjadi kerancuan pemahaman.

Tiga aspek yang saya maksud adalah:

  • bagaimanakah sistem pemerintahan bentuk negara yang harus diterapkan oleh umat muslim? Sistem khilafah, kerajaan, kesultanan atau bentuk-bentuk yang lain.
  • bagaimana mekanisme pengangkatan pemimpin umat muslim? Pemilihan langsung, berdasarkan musyawarah, ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya atau cara yang lain.
  • Wajibkah umat muslim diseluruh dunia dari berbagai negara memiliki satu pemimpin, ataukah diperbolehkan setiap negara memiliki pemimpin masing-masing?

Dari ketiga masalah diatas, yang diminta aturan bakunya oleh Prof. Mahfud MD adalah masalah pertama, yakni; adakah aturan baku mengenai sistem pemerintahan dan bentuk negara yang harus diterapkan oleh umat muslim?

Jawaban masalah ini telah kami tegaskan diatas bahwa islam tidak memiliki model sistem pemerintahan maupun bentuk negara baku yang harus diterapakan oleh kaum muslim.

Semua model negara sejak zaman sahabat hingga sekarang merupakan produk ijtihad yang dirasa paling relevan untuk masyarakat negara tersebut.

Adapun masalah yang kedua, bagaimana mekanisme pengangkatan pemimpin umat muslim? juga merupakan masalah ijtihadi, tidak ada sistem baku yang diajarkan Alloh maupun rosulNya mengenai mekanisme pengangkatan seorang pemimpin.

Hal ini bisa kita lihat dengan melacak sejarah pengangkatan khulafur rosyidin yang oleh nabi Muhammad disebut dengan kholifah ala manhajin nubuwwah. Sayyidina Abu Bakar menjadi kholifah berdasarkan hasil kesepakatan para sahabat di Bani Tsaqifah.

Sayyidina Umar menjadi kholifah karna ditunjuk langsung oleh sayyidina Abu Bakar sebelum beliau wafat. Sayyidina Utsman menjadi kholifah atas dasar kesepakatan tim formatur (ahlus syuro). Sedangkan sayyidina Ali menjadi kholifah atas dasar baiat.

Semua ini menegaskan kepada kita bahwa islam tidak memiliki sistem baku mengenai mekanisme pemelihan kepala nagara yang didasarkan atas ijtihad yang rasa paling baik untuk diterakan pada masyarakat tersebut.

Sedang masalah yang ketiga, wajibkah umat muslim diseluruh dunia dari berbagai negara memiliki satu pemimpin, ataukah diperbolehkan setiap negara memiliki pemimpin masing-masing? Menurut imam Nawawi sebagaimana diungkapkan dalam kitab Syarh Nawawi ala Shahih Muslim disebutkan. Umat muslim dari berbagai belahan dunia dan dari berbagai macam negara diharuskan memiliki satu pemimpin, baik antara negara satu dengan negara lain berjauhan ataupun berdekatan.

Pernyataan imam Nawawi dan ulama-ulama lain yang disebutkan dalam refrensi berbicara tentang kewajiban umat muslim hanya memiliki satu pemimpin.

Teks ini tidak ada sangkut pautnya dengan kewajiban mendirikan negara berdasarkan khilafah sebagaimana yang dicita-citakan oleh HTI dan Ust. Fahmi al-Anjantani. Sehingga tidak benar, apabila pernyataan imam Nawawi diatas dijadikan alat untuk menyalahkan sistem pemerintahan yang dianut negara Indonesia dan menilainya sebagai negara thoghut.

Disisi lain, kalau kita merujuk dan mengecek langsung kitab Syarh Nawawi ala Shohih Muslim, kita akan dapati ketidak jujuran Ust. Fahmi al-Anjantani dalam mengutip pernyataan imam Nawawi. Beliau hanya mengutip pernyataan imam Nawawi yang mengharuskan umat muslim memiliki satu pemimpin yang dirasa sesuai dengan seleranya, sedangkan pendapat yang lain yang tidak mewajibkan tidak dikutip dan dihilangkan seolah-olah tidak pernah ada. Mendukung salah satu pendapat boleh-boleh saja, tapi kejujuran ilmiah harus tetap dijaga.

شرح النووي على مسلم - (ج 6 / ص 316)
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا ، وَقَالَ إِمَام الْحَرَمَيْنِ فِي كِتَابه الْإِرْشَاد : قَالَ أَصْحَابنَا : لَا يَجُوز عَقْدهَا لِشَخْصَيْنِ ، قَالَ : وَعِنْدِي أَنَّهُ لَا يَجُوز عَقْدهَا لِاثْنَيْنِ فِي صُقْع وَاحِد ، وَهَذَا مُجْمَع عَلَيْهِ . قَالَ : فَإِنْ بَعُدَ مَا بَيْنَ الْإِمَامَيْنِ وَتَخَلَّلَتْ بَيْنهمَا شُسُوع فَلِلِاحْتِمَالِ فِيهِ مَجَال ، قَالَ : وَهُوَ خَارِج مِنْ الْقَوَاطِع ، وَحَكَى الْمَازِرِيُّ هَذَا الْقَوْل عَنْ بَعْض الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ أَهْل الْأَصْل ، وَأَرَادَ بِهِ إِمَام الْحَرَمَيْنِ ، وَهُوَ قَوْل فَاسِد مُخَالِف لِمَا عَلَيْهِ السَّلَف وَالْخَلَف ، وَلِظَوَاهِر إِطْلَاق الْأَحَادِيث . وَاَللَّه أَعْلَم .

Artinya: Para ulama telah bersepakat bahwa Tidak Boleh (umat Islam) mempunyai dua orang Khalifah dalam satu waktu, baik ketika wilayah Darul Islam luas ataupun tidak. Imam al-Haromain berkata dalam kitab al-Irsyad. Ulama madzhab Syafii berkata: tidak boleh mengangkat dua imam. Imam Haromain berkata: menurut saya tidak boleh mengangkat dua imam dalam satu daerah. Dan ini telah disepakaati oleh para ulama. Imam Haromain melanjutkan: apabila jarak kedua imam berjauhan dan keduanya dibatasi oleh jarak yang jauh, maka masuk dalam katagori masalah debatebel (tidak ada dalil yang pasti akan kewajiban bersatunya umat islam dalam satu pemimpin). Al-Mazariy menjelaskan pendapat ini dengan mengutip pernyataan sebagaian ulama mutaakhhrin dan yang dimaksud adalam imam Haromain. Pendapat ini merupakan pendapat yang fasad yang bersebrangan dengan ulama salaf dan kholaf, [disamping itu] bertentangan dengan pemahaman tekstual hadits. (Syarah Shahih Muslim, XII/232)

Pendapat imam Haromain yang tidak mengharuskan umat islam diseluruh dunia dipimpin oleh satu orang sekalipun pendapat ini tidak disetujui oleh imam Nawawi- tidak dikutip oleh Ust. Fahmi al-Anjantani dan dibuang begitu seolah-oleh tidak pernah. Seharusnya yang demikian ini tidak perlu dilakukan jika tujuan utama Ust. Fahmi al-Anjantani menulis kritikan terhadap Prof. Mahfud MD adalah mencari kebenaran.

Perlu kami jelaskan disini, Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban umat islam dari berbagai belahan dunia berada dibawah naungan satu pemimpin, pada saat antara satu Negara dengan Negara yang lain berjauhan, hukum disatu Negara tidak bisa berlaku pada Negara yang lain sebagaimana  bisa kita saksikan pada zaman modern ini.


Imam Nawawi, al-Mawardiy, Abu Yala dan Ibnu Hazam tidak memperbolehkan umat islam diseluruh belahan dunia dipimpin oleh dua imam, umat muslim hanya diperbolehkan dipimpin oleh satu imam.

Sementara imam Haromain, al-Baghdadiy, Muhammad bin Kirom al-Sijistasniy, Abu Shobah al-Samarqondiy, Ibnu Taymiyyah dan ulama lainya berpendapat, umat islam tidak diwajibkan memiliki pemimpin tunggal pada saat letak georgafis antara satu Negara dengan Negara yang lain yang ditempati oleh kaum muslim berjauhan, sebagaimana yang terjadi pada zaman sekarang. Dalam kondisi kondisi demikian, maka umat islam di tiap-tiap Negara tersebut diperkenankan untuk mengangkat pemimpinnya masing-masing.

Kedua pendapat yang bersebarangan ini telah dijelakan dengan baik oleh Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, namun sangat disayangkan, Ust. Fahmi al-Anjantani hanya mengutip penjelasan para ulama yang dikutip Wahbah Zuhaili yang mengaharuskan umat islam dipimpin oleh satu imam, dan menghilangkan begitu saja pendapat yang tidak mewajibkan, padahal sudah ada didepan matanya.

Dari kedua pendapat ini yang paling relevan aplikasikan dan dipilih oleh pendiri bangsa Indonesia untuk diterapkan adalah pendapat yang memperbolehkan setiap Negara memiliki pemimpin (presiden dalam konteks Indonesia) sendiri dan tidak mewajibkan umat islam berada dibawah naungan penguasa tunggal.

Mengacu pada pendapat ini, maka kewajiban umat muslim khususnya Indonesia untuk mengangkat kholifah sudah terpenuhi dan terlaksana dengan mengangkat Presiden Republik Indonesia. Dan ini tidak hanya dilakukan dan dikuti oleh Negara Indonesia semata, melain diikuti  pula oleh Negara-negara yang lain sebagaimana yang bisa kita saksisakan bersama.

Pendapat ini (baca: ketidak wajiban umaat muslim memiliki pemimpin tunggal) dipilih untuk diterapkan -khususnya di Indonesia- dengan pertimbangan umat islam telah menyebar keseluruh dunia, dan setiap Negara yang ditempati oleh umat islam memiliki batas teritorial terentu dan memiliki peranturan dan perundangan-undangan tertentu pula yang tidak mungkin diberlakukan untuk umat muslim yang berada di lain Negara tersebut.

Dalam konteks ini, imam al-Syaukani menegaskan:

السيل الجرار - (941)
وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان وفي القطر الآخر أو الأقطار كذلك ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره التي رجعت إلى ولايته فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه وكذلك صاحب القطر الآخر

Artinya:  Pada saat islam telah menyebar dan kawasannya telah menajdi luas dan berjauhan, maka telah kita ketahui bersama, bahwa setiap Negara memiliki imam atau penguasa. Di Negara lain juga seperti itu. Perintah maupun larangan  yang berlaku disatu Negara tidak bisa diberlakukan untuk daerah atau Negara lain yang berada diluar wilayah Negara tersebut. [dalam kondisi demikian], maka tidaklah mengapa adanya beberapa pemimpin dan penguasa. Orang-orang yang berada diwilayah Negara tesebut wajib hukumnya mentaati pemerintah yang dapat menerapkan perintah maupun larangannya dalam kawasan yang berada dalam kekuasaanya. Begitu juga Negara-negara lain.

Imam al-Syaukani melanjutkan:

فاعرف هذا فإنه المناسب للقواعد الشرعية والمطابق لما تدل عليه الأدلة ودع عنك ما يقال في مخالفته فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي عليه الآن أوضح من شمس النهار ومن أنكر هذا فهو مباهت لا يستحق أن يخاطب بالحجة لأنه لا يعقلها

Artinya: Pahamilah hal ini (ketidak wajiban mengangkat pemimpin tunggal), karena inilah yang lebih relevan dengan kaidah-kaidah syariat dan cocok dengan argumentasi legal-formal (al-adillah). Tinggalkanlah statemen-statemen yang dilontarkan oleh orang-orang yang isinya kontardaiktif dengan apa yang aku katakan, karena perbedaan kekuasaan pada masa awal-awal Islam dengan zaman sekarang lebih terang dari matahari di waktu siang. Orang yang mengingkari hal ini adalah para pembohong, tidak perlu mematahkan argumentasi yang dipaparkan mereka, karena mereka tidak memahami masalah ini dengan baik. (al-Sail al-Jaror: 941)

Dengan demikian, Indonesia telah menerapkan sistem khilafah dalam arti mengangkat kepala Negara sebagaimana yang dimaksud oleh para Ulama’, sehingga tidak perlu teriak-teriak khilafah dijalan seperti orang kesurupan.

Membicarakan khilafah dalam konteks kekinian tak ubanya ‘membicarakan mantan yang sudah menikah degan orang lain’. Sebuah tindakan sia-sia yang hanya akan menguras tenaga dan fikiran.

Santri,  dan Staf Pengajar di PP Raudlatul Ulum 1, Ganjaran
Sekretaris LBM PCNU Malang
Sumbermanjing Wetan, 12 Desember 2017

Posting Komentar untuk "Jawaban Menohok, Santri Asal Malang, Atas Tantangan Tokoh HTI, Ust. Fahmi al-Anjantani Kepada Mahfudz MD : Sampean Gagal Faham!"

close
Banner iklan disini