Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Ilmu Ladunni dan Menimba Ilmu Dari Allah swt

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, "Ilmu bukanlah dengan banyak riwayat (materi). Tetapi ilmu adalah cahaya yang dibentikkan Allah di dalam hati."

Antara Ilmu Ladunni dan Menimba Ilmu Dari Allah swt

Abu Yazid al-Busthamiy radhiAllahu'anhu berkata, "Ilmu ladunni adalah ilmu yang terbuka dari dalam pusat hati tanpa sebab dari luar yang biasa berlaku." 

Beliau radhiAllahu'anhu, semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengannya, juga berkata, "Seorang yang berilmu bukanlah yang menghapal ilmunya dari kitab, lalu jika dia lupa niscaya menjadi bodoh. Tetapi dia adalah yang menimba ilmunya dari Tuhan kapan pun tanpa hapalan dan belajar. Itulah seorang yang berilmu lagi _rabbani_ (dekat dengan Tuhan)."

Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, semoga Allah memberi manfaat kepada kita melaluinya, berkata, "Jika seorang hamba melakukan perbuatan baik, maka baginya cahaya di dalam hati. Jika dia terus-menerus seperti itu dalam keadaan mengikuti al-Mushtafa (Sayyidina Muhammad) ﷺ, dan tidak menyisipi keadaan itu dengan suatu keburukan, maka Allah akan membukakan baginya (pembukaan spiritual) dari hadirat yang Maha Suci dengan segera. Jika dia terus-menerus dalam keburukan, maka hal itu akan menjadi titik hitam di dalam hatinya, hingga lama-kelamaan akan menjadikan hitam seluruh hatinya. Jika dia melakukan perbuatan baik di suatu waktu dan melakukan keburukan di waktu yang lain, maka perbuatan baiknya menghapus hitam di dalam hatinya dan perbuatan buruknya menghapus cahaya. Dan dalam hal itu akan menyebabkan hamba itu tetap dalam kondisi seperti itu dan tidak pernah mendapatkan pembukaan spiritual." Dikutip dari kitab _Qurrah al-'Ain_.

Sedangkan syaikh beliau, al-Imam Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad radhiAllahu'anhu, menjelaskan di dalam kitab _Risalah al-Mudzakarah_ bahwa, kadang-kadang Allah memuliakan hamba-Nya yang taat kepada-Nya, maka dibebaskan hamba itu dari perbudakan nafsu, disucikan hati mereka dari kotoran keberpalingan kepada benda-benda yang fana, dan memunculkan dari dirinya hal-hal yang luar biasa, seperti keajaiban _karamah_. Maka manusia mengambil berkah dari cahaya mereka, mengikuti jejak mereka, menghadap kepada Tuhan untuk mengabulkan hajat dengan kedudukan mereka, memohon dengan kedudukan mereka untuk menolak kesulitan, mencari berkah dengan tanah pusara mereka... hingga akhir seperti yang diucapkan beliau radhiAllahu'anhu.

Al-hasil -seperti yang diucapkan junjungan kami al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi, semoga Allah memberi manfaat melaluinya- sesungguhnya kelembutan tidak akan datang kecuali setelah menerapkan sifat-sifat yang dimiliki para salaf pendahulu. Tidaklah memancar sinar kecuali setelah melanggengkan zikir. Tidaklah meliputi rahasia Ilahi kecuali setelah meleburkan diri dalam tafakkur dan perenungan. Tidaklah muncul keistimewaan kecuali setelah mencabut syahwat dan kerendahan dari sifat-sifat... hingga akhir yang diucapkan beliau dalam kitab _al-'Iqd_.

Hikayat/ Cerita

Diceritakan dalam kitab _an-Nahr al-Maurud_ dari al-Imam al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, semoga Allah memberi manfaat kepada kita melaluinya, bahwa seorang tokoh ahli fiqih, ketika mendengar tentang kedudukan Sayyid ath-Thaifah Abu al-Qasim al-Junaid dalam ilmu _sirr_ (rahasia Ilahi) yang tampak darinya, mendatangi beliau dengan tujuan akan mengujinya. Maka dia menanyakan kepadanya tentang permasalahan fiqih, dan beliau (al-Junaid) menjawabnya dengan jawaban yang sempurna serta menambahkan manfaat dari ilmunya sesuatu yang tak dimiliki oleh ahli fiqih itu. Maka dia pun keheranan dan berkata, "Ulangi apa yang kau ucapkan." Beliau mengulangi penjelasannya dengan keterangan lain. Ahli fiqih itu berkata lagi, "Ulangi apa yang kau ucapkan." Beliau mengulangi penjelasannya dengan keterangan yang lain dari yang pertama dan kedua. Ketika ahli fiqih itu menyadari bahwa dirinya tak memiliki kemampuan untuk menghapal keterangan al-Junaid, maka dia berkata, "Diktekan kepadaku agar aku dapat mencatatnya." Beliau menjawab, "Jika aku yang memunculkan penjelasan itu, maka aku akan mendiktekannya." Beliau mengisyaratkan bahwa penjelasan itu adalah pembukaan spiritual dari Tuhan yang tak dihimpun oleh lembaran-lembaran kitab. Kemudian bangkitlah ahli fiqih itu dengan penuh ketundukan kepada pemimpin sufi ini, karena kedudukannya yang tinggi dan keluasan ilmunya.

Beliau radhiAllahu'anhu (al-Imam Idrus) juga meriwayatkan cerita yang disampaikan oleh al-Imam Ibn 'Athaillah as-Sakandariy dalam kitab _Lathaif al-Minan_. Disebutkan bahwa beliau radhiAllahu'anhu bertemu dengan banyak ulama. Diantaranya adalah, al-Imam Abu al-Hasan asy-Syadziliy, semoga Allah menyucikan _sirr_-nya, al-Imam 'Izzuddin bin Abdussalam, sultan para ulama[1], asy-Syaikh Muhyiddin ibn Suraqah[2], al-Imam Ibn Daqiq al-'Id[3], dan lain-lain. Mereka semua berbicara tentang pengetahuan, hingga al-Imam Abu al-Hasan asy-Syadziliy berbicara mengenai ilmu _al-Wahbiy_ (ilmu yang didapat tanpa dipelajari) yang diilhamkan langsung. Beliau menjelaskan hal itu dengan ilmu _dzawq_ (cita-rasa spiritual) yang melinglungkan akal. Pada saat itu al-Imam 'Izzuddin bin Abdussalam berkata, "Bergegaslah untuk menyambut ilmu yang segar dan baru didapat dari Tuhannya."

Diceritakan bahwa asy-Syaikh Ahmad ar-Ramliy rahimahullah pernah ditanya tentang suatu masalah sedang beliau dalam keadaan menunggangi _bughlah_ nya (peranakan dari kuda dan keledai). Beliau menundukkan dan menganggukkan kepalanya, lalu menengok ke kanan dan kiri, dan mendongakkan kepalanya ke atas, kemudian menjawab pertanyaan itu. Maka beliau ditanya tentang perbuatannya tadi, dan beliau menjawab, "Ketika kau menanyakan masalah tadi kepadaku, aku tidak memiliki jawaban. Maka aku menengok semua kitab di belahan Timur dan Barat Bumi dan tak kudapati jawabannya. Lalu kutengok _al-Lauh al Mahfudh_ dan aku tak mendapatkan jawabannya pula. Kemudian hatiku memberitahukan kepadaku (jawabannya) dari Tuhanku."

Asy-Syaikh Abdullah bin Ahmad Basaudan dalam kitabnya _Faidh al-Asrar_ menyebutkan bahwa asy-Syaikh al-Kabir Sa'id bin 'Isa al-'Amudiy radhiAllahu'anhu[4], seorang yang tak pandai membaca, menulis, dan tak dapat membaca Al-Quran, serta tak mengenali ilmu, tetapi Allah mengajarkan kepadanya ilmu yang tak dapat diketahui (orang). Beliau bahkan pernah meluruskan pendapat para ulama pada beberapa masalah yang rumit. Jika beliau mendengarkan seseorang yang salah dalam membaca Al-Quran pada huruf dan kata, dia mengoreksinya. Begitu juga ketika ada seseorang yang berbuat dosa mendatanginya, maka dia menuntunnya untuk bertaubat atas perbuatan yang sudah dilakukannya.

Disebutkan bahwa beliau pernah melakukan ibadah haji pada tahun tertentu. Ketika beliau melakukan tawaf di Ka'bah, beliau terjatuh karena lapar dan lemah. Di saat itu seorang yang saleh melihat, Ka'bah-lah yang tawaf berputar mengitarinya. Lalu orang saleh itu menyeru, "Janganlah kalian remehkan orang yang berdebu itu, janganlah kalian remehkan orang yang berdebu itu."

Catatan Akhir

1. Beliau adalah seorang pemimpin agung, guru besar Islam dan orang-orang Islam, salah satu tokoh dari para Imam, 'Izzuddin 'Abdul 'Aziz bin 'Abdussalam as-Sulamiy (577-660 H). Beliau adalah seorang imam di zamannya tanpa keraguan lagi, penegak dalam mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran di zamannya, pengamat dalam hakikat ilmu syariat dan kerumitannya, yang memunculkan ilmu sesuai dengan tujuannya dan sebagai ciri dalam ilmu, sifat _wara'_, dan keberanian.

2. Beliau adalah seorang ulama yang memiliki keutamaan dalam agama serta ahli hadits, asy-Syaikh Abu Bakar Muhyiddin Muhammad bin Ahmad al-Anshariy asy-Syathibiy, berasal dari Andalusia. Beliau dikenal dengan Ibn Suraqah (592-662 H). Seorang guru besar di Dar al-Hadits al-Kamiliyyah di Kairo. Belajar hadits di kota Baghdad dan di daerah lainnya. Beliau menjabat sebagai guru besar di Dar al-Hadits di Halab, lalu al-Kamiliyyah di Mesir, setelah sebelummnya yang menjabat adalah al-Hafizh al-Mundziriy. Beliau memiliki beberapa kitab menganai tasawwuf.

3. Beliau adalah seorang pemimpin agung, guru besar Islam, menjabat sebagai Qadi, Abu al-Fath Taqiyuddin Muhammad bin Ali bin Wahab al-Qusyairiy dan dikenal dengan Ibn Daqiq al-'Id (625-702 H). Beliau adalah seorang Imam dalam dua mazhab, Mazhab Maliki dan Syafi'i, bahkan beliau mencapai derajat seorang mujtahid dan disebut sebagai seorang mujaddid (pembaharu) yang (disebutkan dalam hadits) muncul pada seratus tahun yang ketujuh. Ayah beliau adalah Majduddin Ibn Daqiq al-'Id, seorang yang berilmu juga dan termasuk ahli fiqih Mazhab Maliki.

4. Beliau adalah seorang Waliyullah dan 'Arifbillah serta masyhur dan tersohor di negeri Yaman. Nama beliau adalah asy-Syaikh Sa'id bin 'Isa al-'Amudiy al-Hadhramiy, yang merupakan keturunan dari junjungan kita Abu Bakar ash-Shiddiq radhiAllahu'anhu. Beliau lahir pada tahun 600 H di kota Qaidun yang terdapat di lembah Dau'an dan di sana pula beliau wafat pada tahun 671 H. Beliau dimakamkan di samping masjidnya.

Di sarikan dari :
Thariqah Alawiyah - Jalan Lurus Menuju Allah, Jilid 2, Bab 5, Ilmu Ladunni & Menimba Ilmu dari Allah, halaman 60-64.
Terjemah Kitab Al-Minhaj as-Sawiy, Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Al Ba 'Alawi karya al-'Allamah al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Terbitan Dar al-'Ulum wa ad-Da'wah, Tarim-Hadramaut-Yaman.

Sumber : Group Whatssapp

Posting Komentar untuk "Antara Ilmu Ladunni dan Menimba Ilmu Dari Allah swt"

close
Banner iklan disini